AnNyEoNg

wibiya widget

Pages

FoReVeR ToGeThEr

Forever Slideshow: Putut’s trip to Semarang was created with TripAdvisor TripWow!

Rabu, 10 Maret 2010

ini cerpen 1Q

AKU SAYANG EMAK

“Mak, lebih baik hari ini Mak jualan setengah hari saja. Batuk Emak semakin menjadi-jadi.” Kata sang putra sambil mengelus-elus pundak Emaknya. Hari itu hari yang kesekian kalinya Emak pulang lebih awal. Bukan karena malas jualan tapi sang raga yang sudah tak kuat menanggung lubang lebar di paru-paru Emak. Lavender sang teman sejati Emak pun ikut-ikut layu, selayu muka pucat wajah tua Emak.

Parmin anak penurut dan sangat menyayangi Emaknya itu, tiap hari mencoba berjalan kesana kemari untuk bisa mendapatkan uang. Bukan untuk kawin dengan wanita idamannya itu. Tapi untuk membiayai pengobatan sang Emak. Lelaki yang kurang beruntung dalam hal percintaannya itu, juga belum beruntung saat dia terlahir sebagai bayi cacat kedua kakinya. Mungkin ada hubungan antara ketidakberuntungannya dalam berbagai hal.

“Uhuk…uhuk…uhuk, Min kenapa kamu pulang malam nak? Kamu tidak usah repot-repot cari uang buat Emak kamu ini. Emak bisa mengumpulkan uang sedikit-sedikit untuk membiayai pengobatan Emak nanti.” Semakin lama suaranya bergetar semakin pelan sambil menahan rasa sesak di dadanya. Dan tanpa henti dia terus berdzikir walau dengan suara lirih bersemburat lara.

TBC, penyakit bandel yang sudah tinggal lama di paru-paru Emak dan merusak sebagian besar Alveolus yang Emak punya. Itu didapat Emak dari kegiatan berdagangnya yang dulu selalu sampai larut malam karena dia harus berjuang sendiri merawat anak semata wayangnya yang cacat. Sang ayah yang tak bertanggungjawab pergi begitu saja setelah dia tahu keturunannya tak sempurna. Syal yang setiap hari dipakainya tak kuasa menghadang serangan-serangan sesak napasnya. Tapi setidaknya bisa diajak berbagi lara, karena setiap dada Emak terguncang saat dia batuk, syal itu merasakan guncangan itu juga.

Hari ini, hari dimana Emak sudah tidak bisa mengendalikan guncangan dadanya yang penuh sesak. Seolah-olah asap dapur rumahnya, asap dapur kendaraan yang setiap kali lewat di hadapannya serta asap pabrik di samping dia berjualan terkumpul penuh di dadanya. Andai itu bukan ciptaan Tuhan mungkin sudah meledak dan hancur berkeping-keping. Parmin pontang-panting mencari bantuan uang dari tetangganya, tak satupun dari mereka rela meminjamkan hartanya. Apalagi secara cuma-cuma mau mengangkut ibunya ke rumah sakit terdekat. Dengan menggunakan songkro dan bergegas membenahi kaki palsunya. Dia segera mendorong songkro di mana di atasnya terkulai tubuh wanita tua yang batuknya semakin parah melewati gang sempit samping rumahnya, bau busuk got yang sudah lama tersumbat menusuk hidung, jalan berlubang yang berkali-kali berusaha menjatuhkan tubuh ringkihnya itu tak dihiraukan dan bergegas mengambil arah menuju rumah sakit besar yang lantai atasnya sudah terlihat dari kejauhan yaitu Rumah Sakit Peduli Siapa Saja.

Setelah dengan susah payah dan segenggam harapan indah untuk menyembuhkan Emak dia sampai di rumah sakit itu, dengan segampang membalikkan telapak tangan sang suster berginco merah membara itu mengusir pria cacat yang memeluk ibunya dalam pesakitan. Sang suster sudah mengetahui bahwa pria itu datang untuk berobat gratis. Dengan nada sombong sang suster berkata “Enak saja ini rumah sakit nenek kamu, sehingga dengan seenaknya kamu datang berobat tanpa bayar. Zaman sekarang memang orang pada suka gratisan.” Dengan rendah hati dia mencopot kaki palsunya dan berlutut memohon belas kasih sang suster. Tapi yang dia dapat hanya cercaan dan hinaan. Langkah kaki yang bergema di seluruh ruangan terdengar jelas dalam keadaan sepi di tengah malam hari senin yang dingin menembus tulang belulangnya. Dia dokter muda yang penuh wibawa tapi miskin rasa. Dengan berharap sang dokter bisa membantunya, dia menghampiri sang dokter dengan merangkak penuh harap. Tapi tetap percuma, rumah sakit yang bernama gagah dan penuh kasih itu tidak lain hanya tempat orang-orang yang tak punya rasa dan hati.

Karena seriusnya dia berusaha agar sang ibu bisa dirawat di rumah sakit itu, sang putra tidak sadar kalau sang ibu sudah meninggalkan segala kehidupan fana ini tanpa sepatahkata pun, tanpa pelukan dan senyuman tapi dengan segala perjuangan yang sia-sia dan yang tertinggal hanya syal penuh dengan darah kental. Tanpa hati sang suster dan dokter itu tertawa penuh dengan nada menghina. Parmin terpaku dengan kepala tertunduk lesu.

Dua bulan sudah peristiwa sedih itu berlalu, yang tersisa hanya kenangannya dengan sang Emak dan segumpal dendam yang terus tumbuh mencekik lehernya. Pada akhirnya dendam itu menguasai gerak raga dan pikirannya.

Senin, 14 Januari 1995 di temukan mayat seorang wanita yang terduduk manis di kursi kerjanya. Dia seorang suster rumah sakit yang ternama. Dengan bibir bergincu merah membara. Diduga dia mati karena kehabisan napas dan ada bekas cekekan kain di lehernya. Terdapat bungan lavender layu di samping mayat itu.

Di hari yang sama dua bulan berikutnya, di rumah sakit yang sama mayat seorang dokter muda yang katanya dalam hidupnya sangat berwibawa ditemukan dengan luka yang sama yaitu luka bekas cekekan kain. Dan lagi-lagi terdapat bungan lavender layu di sampingnya.

Pembunuhan berantai telah berakhir setelah di hari yang sama dua bulan berikutnya, di sebuah rumah reot yang sudah sekitar 6 bulan lamanya sama sekali tak rawat tergantung sesosok mayat laki-laki yang cacat kakinya yang tergantung oleh sebuah syal dan memeluk bunga lavender layu.

Read more...
separador

My LoVe My KiSs My HeArT

My Half Soul Slideshow: Kim’s trip to Seoul was created with TripAdvisor TripWow!
CONTENT BLOGGER HERE
CONTENT TWITTER HERE
CONTENT FACEBOOK HERE

WaKtU

KaLeNdEr

Cuteki kawaii

Followers